Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang sangat diminati pelajar untuk menghabiskan waktu liburan seperti saat ini. Beberapa alasan yang menjadikan Yogyakarta sebagai tujuan wisata dikarenakan Yogya dianggap sebagai kota romantis, kaya budaya, daerah istimewa, penduduknya ramah, ada candi, kuliner menarik, serta menyimpan cerita sejarah yang unik. Untuk alasan yang terakhir, memunculkan pertanyaan “Apakah benar, hanya Yogyakarta saja yang memiliki cerita sejarah yang unik?” Tentu saja tidak.
Seperti kita ketahui bersama, sebelum ada Kesultanan Yogyakarta, terdapat sebuah kesultanan yang besar dan namanya termasyur di Nusantara yaitu Kesultanan Mataram Islam. Kesultanan Mataram Islam didirikan oleh Pangerah Sutawijaya dengan gelar Panembahan Senapati Ingalaga Pranatagama. Selanjutnya nama Mataram Islam menjadi lebih besar, ketika dipimpin oleh Raden Mas Rangsang dengan gelar Panembahan Agung Senopati Ing Alogo.
Di bawah kepemimpinannya, pada 1614 Mataram Islam berhasil mengalahkan musuh-musuhnya salah satunya Surabaya yang dibantu oleh Kediri, Tuban, Pasuruan, Madura. Setelah itu, Mataram Islam berturut-turut menahklukan wilayah seperti Lasem, Pasuruan (1617), Tuban (1620), Gresik, serta Madura. Tahun-tahun berikutnya Mataram Islam melalukan ekspansi, sehingga mampu menguasai Surabaya, beserta wilayah di Pantau Utara Jawa.
Pada 1645, Sultan Agung wafat. Sepeninggalan Sultan Agung, menyisakan cerita panjang ekspansi Mataram Islam terhadap berbagai wilayah di Jawa maupun di luar Jawa. Selanjutnya, Mataram Islam diperintah oleh Sunan Tegalarum dengan gelar Susuhunan Prabu Amangkurat (Amamgkurat I). Pada masa pemerintahan Amangkurat I, Mataram Islam memperbaikan hubungan dengan (VOC) Belanda yang sempat memanas akibat kegagalan dalam penyerangan ke Batavia.
Hubungan tersebut ditandai dengan penandatanganan perjanjian damai pada tahun 1646, berisi tentang pengiriman utusan Belanda ke Mataram, kesediaan Belanda mengatur perjalanan ulama Mataram, pembebasan tawanan Belanda, perang bersama, serta pelayaran bebas di Kepulauan Maluku. Melalui perjanjian inilah, kekuatan asing mulai masuk dalam sendi kehidupan Kesultanan Mataram Islam.
Sepeninggalan Sultan Agung, Mataram Islam diselimuti banyak pemberontakan akibat kebijakan ekspansi yang pernah dilakukan oleh Sultan Agung. Pada suatu ketika terjadi pemberontakan Trunojoyo pada 1677 di mana keraton Plered direbut dan dijarah oleh Trunojoyo (raja Madura). Namun, Trunojoyo menguasai Keraton Plered tidak berlangsung lama, karena Adipati Anom (Putra Mahkota Amangkurat I) meminta bantuan kepada Belanda untuk menyerang Trunojoyo.
Pada 1679 Trinojoyo ditangkap dan dihukum mati, sedangkan Adipati Anom akhirnya menjadi sultan Mataram Islam dengan gelar Amangkurat II. Dari peristiwa inilah, Belanda mulai mengendalikan Kesultanan Mataram Islam melalui berbagai macam perjanjian dan tuntutan seperti penyerahan daerah di selatan Batavia, pelabuhan, serta distrik Mataram juga sejumlah kota pantai utara Jawa sebagai jaminan. Kemudian muncul pertanyaan “Apakah berkerja sama dengan pihak asing (Belanda) dapat menyelesaikan masalah?” Tentu saja tidak begitu saja terselesaikan.
Berbagai macam pertikaian intern istana terus berlanjut pada masa kepemimpinan Sunan Mas atau Amangkurat III yang menggantikan ayahnya Amangkurat II. Pada masanya, Amangkurat II berselisih paham dengan pamannya yaitu Pangeran Puger. Selanjutnya Pangeran Puger bekerja sama dengan Belanda, sehingga Pangeran Puger naik tahta dengan gelar Pakubuwono I tahun 1705. Keadaan rumit seperti ini, bergulir hingga munculnya Perjanjian Giyanti tahun 1755.
Munculnya Kesultanan Yogyakarta
Bermula dari kepemimpinan Pakubuwono II yang selalu bekerja sama dengan Belanda untuk mengatasi berbagai pemberontakan pada masa pemerintahannya. Hal ini menjadikan Pangeran Mangkubumi (Adik Pakubuwono II) meninggalkan istana mataram. Permasalahan lain yang membuat kekacauan pada masa ini yaitu Raden Mas Said (keponakan Pakubuwono II) meminta haknya sebagai pewaris tahta Mataram.
Menurut artikel dinas kebudayaan Yogyakarta, RM Said merupakan putra sulung Amangkurat IV. Selanjutnya Pakubuwono II memindahkan istana dari Kartasura menuju Surakarta (Solo) karena adanya serangan dari Mas Gerendi atau Sunan Kuning. Hal ini menjadikan RM Said semakin bersemangat menuntut tahta Mataram, sehingga bergabung dengan Pangeran Mangkubumi.
Sepeninggalan Pakubuwono II, Pangeran Mangkubumi menyatakan diri sebagai raja baru Mataram. Mengetahui hal ini, Belanda tidak mengakui keberadaan Pangeran Mangkubumi sebagai raja maka Belanda mengangkat Raden Mas Suryadi (putra Pakububuwono II) sebagai raja baru dengan gelar Pakububuwono III. Dengan adanya dua raja seperti ini, Belanda yang diwakili oleh Nicolaas Hartingh mengajak berunding Pangeran Mangkubumi pada 22-23 September 1754. Perundingan membahas pembagian kekuasaan Mataram, gelar yang akan digunakan, kerja sama Belanda dengan kesultanan.
Selanjutnya pada 13 Februari 1755, muncul kesepakatan melalui perjanjian Giyanti (desa Giyanti) di mana Kesultanan Mataram Islam dibagi menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Pakubuwono III dan Kasultanan Ngayogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I. Dari sini wilayah Mataram Islam secara de facto dan de yure terpecah atau dibagi menjadi 2 kekuasaan seperti di atas, sehingga sekarang kita mengenal dua keraton besar yaitu Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta
Munculnya Wilayah Mangkunegara
Perjanjian Giyanti pada 1755 tidak langsung menyelesaikan masalah. Raden Mas Said yang sebelumnya bergabung dengan Pangeran Mangkubumi merasa dihianati, karena Mangkubumi telah berpihak kepada Belanda dan Pakubuwono III. Pada 1757, Gubernur Jendral Jacob Mose yang berada di Batavia mengundang Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I), serta Adipati Mangkunegoro (RM Said) dalam pertemuan di Salatiga untuk membahas tuntutan RM Said.
Sesuai dengan waktu dan tempat disepakati maka pada hari Sabtu, pada 17 Maret 1757, mereka mengadakan pertemuan di sebuah gedung yang bernama Pakuwon di Kalicacing, Salatiga. Secara rinci yang hadir dalam pertemuan Pakaewon itu, terdiri dari empat pihak, yaitu: VOC, Susuhunan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta dan “Mangkunegaran/ RM Said”. Masing-masing kelompok didukung oleh kekuatan militer, sehingga suasana Salatiga pada waktu itu Nampak cukup menegangkan (Widiarto, 2021).
Pada perundingan di atas, dihasilkan Perjanjian Salatiga di mana pihak VOC memutuskan untuk menetapkan berupa tanah kekuasaan RM Said. Sehingga, dalam hal ini, RM Said diangkat menjadi Pangeran Miji dan kedudukannya sedikit di bawah Kasunanan Surakarta, dengan gelar Pangeran Adipati Mangkunegoro. Di samping itu, ia berhak atas wilayah yang telah disediakan di daerah Kedawung, Matesih, Honggobayan, Sembuyun, Gunung Kidu;, Pajang dan kedu.
Perjuangan dan jerih payah RM Said membuahkan hasil melalui Perjanjian Salatiga, sehingga dapat mewarisi sebagia tahta Mataram. Namun, dengan seperti ini memperlihatkan bagaimana perpecahan pada Kesultanan Mataram Islam terkusus Kasunanan Surakarta.
Munculnya Kadipaten Pakualaman
Selain perjanjian Salatiga (1755) dan Giyanti (1757), Mataram Islam kembali terpecah pada tahun 1813, sehingga muncul wilaya Pakualaman. Peristiwa ini diawali karena adanya konflik internal dan masuknya campur tangan pemerintah kolonial. Sultan Hamengkubuwono II bersitegang dengan Gubernur Jendral Willem Daendels, di mana Daendels menilai Sultan Hamengkubuwoni II telah bersekongkol dengan Raden Ronggo (bupati Madiun) dalam melancarkan pemberontakan. Dari peristiwa ini, Daendels menggulingkan Hamengkubuwono II (Sultan Sepuh) dan digantikan dengan putranya Gusti Raden Mas Suryo dengan gelar Hamengkubuwono III.
Pada masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles, Sultan Hamengkubuwono II dikembalikan lagi sebagai seorang sultan. Raffles memang memanfaatkan konflik-konflik internal dalam Kesultanan Yogyakarta, dengan cara ini Raffles mendapatkan keuntungan yaitu Hamengkubuwono II tunduk kepada aturan yang di buat Raffles. Dalam hal ini, ada yang menarik yaitu Pangeran Notokusumo (Putra ke 3 Hamengkubuwono I) dimanfaatkan Raffles untuk menjadi mediator dengan Sultan Hamengkubuwono ke II. Melihat kedekatan antara Notokusumo dan Raffles, GRM Suryo juga ikut mengambil simpatik Raffles melalui berbagai cara demi mengembalikan tahtanya sebagai sultan.
Pada akhirnya, keinginan GRM Suryo terkabul, Sultan Sepuh/Hamengkubuwono II dituduh melanggar kontrak politik. Sehingga, Hamengkubuwono diturunkan oleh Raffles, selanjutnya GRM Suryo diangkat sebagai sultan kembali dengan gelar Hamengkubuwono III dengan catatan harus tunduk dengan Raffles.Keberadaan Kesultanan Yogyakarta semakin mengkhawatirkan ketika Raffles mengangkat orang kepercayaannya yaitu Notokusumo sebagai Pangeran Mardiko yang bergelar Paku Alam pada tanggal 29 Juni 1812.
Kontrak politik antara Notokusumo dan Raffles baru terlaksana pada 17 Maret 1813, di mana dalam kontrak inilah secara jelas disebutkan kedudukan Paku Alam sebagai Pangeran Mardika dan memiliki kewenangan yang bersifat otonom. Di dalam kontrak tersebut dijelaskan bahwa Adipati Paku Alam I merupakan pangeran di bawah kerajaan Inggris, diberikan tanah dan tunjangan, tentara, hak memungut pajak, hak tahta yang turun temurun. Langkah ini diambil Raffles dengan tujuan mengurangi kekuasaan dan pengaruh Hamengkubuwono di wilayah Yogyakarta.
Demikian penjelasan seputar Kesultanan Yogyakarta sebagai bagian dari pecahan Mataram Islam, yang sebenarnya memiliki hubungan dengan wilayah pecahan yang lain seperti Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegara serta Kadipaten Pakualaman. Tentunya tiga wilayah tersebut, dapat dijadikan pilihan sebagai tujuan wisata sejarah meskipun tidak sepopuler Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jadi, untuk adik-adik pelajar yang nanti akan berlibur di Yogyakarta, boleh dong menyempatkan diri mampir daerah Surakarta (Solo), Mangkunegara, dan Pakualaman. Selamat berlibur.
Komentar